Senin, 04 November 2013

Manuskrip Puisi Oky Sanjaya



Pembunuh Sandal
(Oktober 2009 -

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

2.
Aku merenggut nyawanya secara beruntun. Tidak dengan tikaman tetapi dengan sayatan. Kuiris-iris ia di atas meja makan saat semua perseteruan selesai. Ia bersikap dingin di bawah kursi sedangkan aku bersikap penting di atas kursi. Jarum jam, saat itu, bersentak-sentak. Kita menolak semua percakapan yang hangat. Karena dengan kehangatan kita menyederhanakannya, dan selesai. Sedangkan seharusnya, kita menguraikan, apa yang telah kita santap di meja makan. Kau memandangnya dari bawah kursi sedangkan aku memandangnya dari atas kursi. Kau tersungkur pada sudut pandang yang lancip, aku tersingkir pada garis bias yang ganjil. Aku menganggap diriku sebagai pantulan sedangkan kau menganggap dirimu sebagai seorang insinyur bangunan. “Apakah perspektif cahayaku salah sehingga kau menganggap penggambaranku terhadap raut muka sungguh payah dan longgar – kau menganggapku tidak teliti pada setiap lekuk pipi?”. Di suasana yang dingin, kau menganggapku pembohong. Di suasana yang hangat, kau menganggapku penjilat. Maafkan aku menumpahkan liur. Karena hanya itulah yang tak dapat kuatur. Sudah kucoba; menghilangkan semua yang ada di atas meja.

3.
Aku iri padamu. Di atas meja itu, kau seperti penguasa. Aku iakan setiap kata-kata yang jelas tergambar dari perubahan bias warnamu. Aku terima setiap silogisme yang berdenyut di kantung mataku. Tetapi, saat-saat ini, aku lebih menyukai angka nol atau sebuah lingkaran. Jari telunjuk tanganku menggores-goreskannya pada lantai seperti ini. Sesekali mataku membelalak, kemudian jari telunjukku menunjuk-nunjuk ke plapon. Seperti ini. Ya, seperti ini. Aku terpojok dari setiap lingkaran yang tak pernah tergoreskan di atas lantai. Aku menepuk-nepuk kepalaku dengan tangan kanan. Tangan kiriku sejenak kemudian mengiakan dengan sangat patah. Ia tak cekatan menilai mana yang kepala dan mana yang udara. Selalu ia pukulkan ke udara. Jari-jari tangan kananku meremas-remas kepala. Jari-jari kiriku membantai udara.
4.
Tidak lama setelah ia hancur, aku ikut hancur. Rumah hancur. Langkah-langkah patah. Jalan-jalan tak terhubung. Kebingungan-kebingungan terapung. Kesaksian datang. Arah pandang berubah. Lengan lelah. Ada tamu mengetuk pintu.

5.
Tetapi tamu, tidak hadir siang itu. Kecuali ingatan kita yang hangat mengenai siring yang kering, dan rumput yang tumbuh di dasar dinding. Kau cemburu saat itu, karena sepatu telah pergi bersamaku, meloncati pagar coklat tua, berangkat ke sekolah. “Mengapa aku tak pernah berhak berada di bangku sekolah?”. Lelaki yang hatinya runtuh, berdiri tegak menghadap ke tembok, “Tunggulah di rumah, nanti aku ceritakan apa yang kudapatkan dari sekolah. Aku belum mau ambil resiko.”

Percakapan kami berhenti. Dan apa yang pernah aku janjikan tidak pernah aku ceritakan. Kami sama-sama diam, sama-sama mulai beranjak, sama-sama mengerti, untuk tidak pernah berkata-kata lagi. Tentang pertanyaan yang penting, tentang hari yang penting.

Karena itu, apa yang kulihat mengenai pintu, apa yang kuingat mengenai dinding, bukan mengenai siapa yang ada di luar, melainkan pembatas yang luas, sehingga untuk mengetahui kita membutuhkan kunci. Tetapi kunci tidak kutemukan dari tadi. Kecuali sisa tenaga untuk membuka jendela, menggeser sofa, atau menggeser gorden yang lusuh dan tua. “Kami telah memberi tralis setiap jendela, berharap setiap yang datang, tak pernah berniat mengambil.”. Kalender menjelma menjadi sebatang pohon besar. Daun-daunnya berserakan di ruang depan. Beberapa di antaranya retak terinjak. Dan yang berdiam diri dari kunci, tak pernah mencari. “Apakah penting mengetahui, apa yang ada di luar rumah ini?”. Mungkin akan ada yang bertanya-tanya, tentang sesiapa yang terpenggal di atas meja. Tentang peribahasa, atau yang terkunci di dalam lemari. Atau sesiapa yang baru saja lari setelah menggeser tubuh sofa, sehingga menjauh dari jendela. Atau lampu yang belum kita padamkan. Kran air yang belum kita matikan. Atau gelas yang tak jelas, selesai atau sudah, terpakai di dalam rumah.

6.
Mungkin rumah terlalu lelah untuk selesai merapihkan isinya. Ada yang bergegas mencuci beras. Ada yang berdiam diri menyulut api. Di rak, beberapa piring berdenting dan mengucurkan air. “Kau hadir malam itu?”. “Tidak sempat. Aku banyak pekerjaan.”. “Tanpamu, bagaimana kita bisa mengirimkan salam, sedangkan aku tunduk di dalam rumah.”. “Ia, aku mengerti. Kita akan ucapkan lain kali. Saatnya kita harus tidur. Sudah larut.” “Tetapi siang hari, bukan milikku, milik sepatu.”. Beras yang telah berhasil ditanak seperti dilupakan memiliki hak. Langkah yang bergegas menjadi lamban. Api mulai padam. Sumbu kompor bergerak, meninggalkan permukaan. Di permukaan, air dalam panci tampak begitu tenang.

7.
“Mengapa kau tidak pernah ingin pergi, dan kembali-kembali lagi?”.

8.
Aku tetap memilih melangkah, meninggalkan sandal dan rumah. Di punggungku, kaca seperti lelah, tergelincir dari daun jendela, dan pecah. Dan angin akan mulai menelisik, memilih masuk lewat jendela yang telah pecah kacanya, bergerak sampai ke setiap sudut.

“Setiap rumah yang telah disapu, kami sebarkan kembali debu.”.

Lelaki itu tetap saja melangkah.

“Setiap yang pernah pergi tidak pernah pergi.”

Sandal:

9.
Aku mengerti. Kau ingin sekali kembali. Beberapa waktu yang lalu, saat sebelum kau sayat-sayat diriku. Saat sebelum lenganku kau buat putus. Tetapi semuanya telah kau lakukan. Aku telah baka. Dan jika benar ini, bukan pikiran-pikiranmu saja. Semuanya, sudahlah. Aku mengerti. Ini semua karena perkerjaan. Ini semua karena kau telah ditolak.


10.
Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak ingin pulang.

11.
Kita pergi, cari makanan di pinggir jalan. Kau menemukannya. Nasi goreng, ya, nasi goreng. Kau memutuskan memesan, dan memilih minuman.

Kau elus-elus jenggotmu. Menatap es teh yang baru saja datang di atas meja makan. Kau tatap, sampai permukaannya mencapai tenang. Kau minum, kau teguk. Kemudian kau elus-elus lagi jenggotmu. Menatap kembali es teh yang kau letakkan di atas meja makan. Dan kini, kau senyum-senyum sendiri. Menyipitkan mata pribadi.

“Kau tidak ingin memesan minum?”

“Tidak. Aku takut gigiku kuning.”

“Kalau begitu air mineral saja?”

“Tidak. Aku tidak ingin membuka apa-apa.”

12.
“Tetapi tanpa membuka kita tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Tetapi setelah kau mendapatkannya, apa yang akan kau lakukan? Kau akan meminumnya. Habis. Habis.”

“Tetapi aku sempat menatapnya.”

Nasi goreng dihidangkan. Seorang pelayan menitiskan senyuman.

“Tetapi, karena keinginan aku dan kau dilahirkan.”

 Pembicaraan kami terhenti, atau dihentikan, sunyi dalam kunyahan.

Aku:

13.
Diusiaku yang akan ke 23, di bulan Oktober, hujan hanya turun sekali. Ketika itu, kubiarkan ia basah sepanjang jalan. Kubiarkan ia turut menekan, rem atau gigi. Mantelku tebal. Dinding pandangku tebal. Hatiku takut lepas. Ketika itu, katamu, “di sekolah, sepatu tidak boleh basah.”.
Sepatu:

14.
Tidakkah kau memahamiku sebagai pengganjal – hubunganmu dengan sandal. Ketika itu, ketika kita beranjak diperlukan. Ketika kita mulai berjalan pada kepentingan masing-masing – aku yang menjadi penting karena keberadaan kau.

Tidakkah kau memahamiku sebagai hal yang pantas di atas teras kelas – meski seberapa buruk aku bagi kenyamanan kau – membaca, menghitung, bahkan menyadarkan guru yang kelewat keliru, bahwa jam pelajarannya  telah lama berlalu, bahwa bel tidak lagi ia dengar sebagai pergantian.

Tidakkah kau memahamiku hanya sebagai perjalanan, yang harus, yang harus kau lewatkan. Aku tidak pernah mengajukan. Aku hanya menjadikan.

Dan aku menderap, bagai langkah tank baja. Menghadapi gerbang sekolah yang hanya terbuka sementara, kemudian menutup diri kita selamanya.

Dan kau gelisah, sebab tidak pernah bisa pulang ke rumah.

Di papan tulis, kau tidak juga bisa menulis angka delapan, sampai tangan gurumu menggapai tanganmu. “Nak, angka delapan itu bukan dua lingkaran. Tetapi seperti ini. Seperti perasaan.” kata gurumu yang kelewat sabar. “Tapi, bu, sama saja, sama saja.” Katamu. “ Tapi nak,” kata gurumu, “ini sudah baku.” “Tapi, kan, perhitunganku benar, bu. Ibu juga tahu maksudku, itu angka delapan. Apakah kebenaran tidak lebih penting dibandingkan dengan kebakuan? Apakah kebenaran menjadi tidak benar, bu, karena tulisanku tidak baku? Ini angka delapanku, bu. Ini, aku.”. “Tapi ini angka delapan, ibu, nak. Ini ibu, nak. Kau percaya, kan, dengan ibu? Percayalah, kau akan selamat di hadapan orang-orang baku itu.”

Di hadapan papan tulis, membelakangi teman-temanmu, di kepercayaan gurumu, kau berhasil menulis. Dan aku, saksi yang paling menangis. Kemudian kita melangkah, mendekati kursi, mendekati meja, mendekati jendela, medekati kata-kata.

Aku:
15.
Di istirahat pertama, setengah jam saat bel masuk akan tiba, aku memilih untuk tidak pergi ke kantin, tetapi datang kembali, menemui pelepah pohon kelapa. Aku terus saja berayun-ayun diketinggiannya. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Dan melompat sampai ke tanah.

Sepatu:

16.
Hari itu, kita akan pulang sore hari. Dan sandal, pasti akan marah besar. Kau mencoba untuk tampak tetap tenang, sedangkan aku mencoba untuk tidak tetap bimbang. Kita mencoba untuk tetap baik mendengar aba-aba. Tetap mencoba, untuk tidak salah melangkah. Kali itu, mungkin rumah akan ada gelisah.

Sandal:

17.
Hari itu, kau pulang tidak seperti biasanya. Aku mengira kau pergi berkencan. Kemana? Kau pergi ke pantai, ya? Bagaimana? Menyenangkan, bukan? Mengapa kau masih ingat pulang? Hari itu, aku hampir saja bergeser dari pintu.

Aku:

18.
Keliru. Tetapi aku, tidak bisa mengatakan apa yang aku mau.

Sandal:

19.
Kemudian turun hujan. Di seberang jalan, hampir berhadapan tempat kami makan, ada toko buku Gramedia. Kami menyeberang, berteduh di tempat yang lebih terang.

“Mengapa masa depan gelap? Hujan turun tanpa rencana.”

“Karena kita, tidak pernah mengharapkannya.”

Aku:

20


Hari itu, aku ingin meninggalkan bising. Dan mendapati rumah, sudah aku rapihkan. Kita jalani hidup ini. Menyusuri halaman, teras, ruang tamu, dua kamar itu, dan dapur. Di dapur, kita temui tikus curut, meloncat karena takut.

"Dapur tampaknya habis perang." katamu.

"Tikusnya tidak hanya satu, tapi tiga, sembunyi di bawah lemari.".

Aku bungkam. Kau tampak kesal. Rumah tampaknya, tak dapat lagi dilindungi.

Sandal:

21

Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar