Pembunuh Sandal
(Oktober 2009 -
Aku:
1.
Pertama kali aku
bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan
pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin
dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok
layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah
mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya.
Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba
saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan
telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi,
apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur
kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku
meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.
2.
Aku merenggut nyawanya
secara beruntun. Tidak dengan tikaman tetapi dengan sayatan. Kuiris-iris ia di
atas meja makan saat semua perseteruan selesai. Ia bersikap dingin di bawah
kursi sedangkan aku bersikap penting di atas kursi. Jarum jam, saat itu,
bersentak-sentak. Kita menolak semua percakapan yang hangat. Karena dengan
kehangatan kita menyederhanakannya, dan selesai. Sedangkan seharusnya, kita
menguraikan, apa yang telah kita santap di meja makan. Kau memandangnya dari
bawah kursi sedangkan aku memandangnya dari atas kursi. Kau tersungkur pada
sudut pandang yang lancip, aku tersingkir pada garis bias yang ganjil. Aku
menganggap diriku sebagai pantulan sedangkan kau menganggap dirimu sebagai
seorang insinyur bangunan. “Apakah perspektif cahayaku salah sehingga kau
menganggap penggambaranku terhadap raut muka sungguh payah dan longgar – kau
menganggapku tidak teliti pada setiap lekuk pipi?”. Di suasana yang dingin, kau
menganggapku pembohong. Di suasana yang hangat, kau menganggapku penjilat.
Maafkan aku menumpahkan liur. Karena hanya itulah yang tak dapat kuatur. Sudah
kucoba; menghilangkan semua yang ada di atas meja.
3.
Aku iri padamu. Di
atas meja itu, kau seperti penguasa. Aku iakan setiap kata-kata yang jelas
tergambar dari perubahan bias warnamu. Aku terima setiap silogisme yang
berdenyut di kantung mataku. Tetapi, saat-saat ini, aku lebih menyukai angka
nol atau sebuah lingkaran. Jari telunjuk tanganku menggores-goreskannya pada
lantai seperti ini. Sesekali mataku membelalak, kemudian jari telunjukku
menunjuk-nunjuk ke plapon. Seperti ini. Ya, seperti ini. Aku terpojok dari
setiap lingkaran yang tak pernah tergoreskan di atas lantai. Aku menepuk-nepuk
kepalaku dengan tangan kanan. Tangan kiriku sejenak kemudian mengiakan dengan
sangat patah. Ia tak cekatan menilai mana yang kepala dan mana yang udara.
Selalu ia pukulkan ke udara. Jari-jari tangan kananku meremas-remas kepala.
Jari-jari kiriku membantai udara.
4.
Tidak lama setelah ia
hancur, aku ikut hancur. Rumah hancur. Langkah-langkah patah. Jalan-jalan tak
terhubung. Kebingungan-kebingungan terapung. Kesaksian datang. Arah pandang
berubah. Lengan lelah. Ada tamu mengetuk pintu.
5.
Tetapi tamu, tidak
hadir siang itu. Kecuali ingatan kita yang hangat mengenai siring yang kering,
dan rumput yang tumbuh di dasar dinding. Kau cemburu saat itu, karena sepatu
telah pergi bersamaku, meloncati pagar coklat tua, berangkat ke sekolah.
“Mengapa aku tak pernah berhak berada di bangku sekolah?”. Lelaki yang hatinya
runtuh, berdiri tegak menghadap ke tembok, “Tunggulah di rumah, nanti aku
ceritakan apa yang kudapatkan dari sekolah. Aku belum mau ambil resiko.”
Percakapan kami
berhenti. Dan apa yang pernah aku janjikan tidak pernah aku ceritakan. Kami
sama-sama diam, sama-sama mulai beranjak, sama-sama mengerti, untuk tidak
pernah berkata-kata lagi. Tentang pertanyaan yang penting, tentang hari yang
penting.
Karena itu, apa yang
kulihat mengenai pintu, apa yang kuingat mengenai dinding, bukan mengenai siapa
yang ada di luar, melainkan pembatas yang luas, sehingga untuk mengetahui kita
membutuhkan kunci. Tetapi kunci tidak kutemukan dari tadi. Kecuali sisa tenaga
untuk membuka jendela, menggeser sofa, atau menggeser gorden yang lusuh dan
tua. “Kami telah memberi tralis setiap jendela, berharap setiap yang datang,
tak pernah berniat mengambil.”. Kalender menjelma menjadi sebatang pohon besar.
Daun-daunnya berserakan di ruang depan. Beberapa di antaranya retak terinjak.
Dan yang berdiam diri dari kunci, tak pernah mencari. “Apakah penting
mengetahui, apa yang ada di luar rumah ini?”. Mungkin akan ada yang bertanya-tanya,
tentang sesiapa yang terpenggal di atas meja. Tentang peribahasa, atau yang
terkunci di dalam lemari. Atau sesiapa yang baru saja lari setelah menggeser
tubuh sofa, sehingga menjauh dari jendela. Atau lampu yang belum kita padamkan.
Kran air yang belum kita matikan. Atau gelas yang tak jelas, selesai atau
sudah, terpakai di dalam rumah.
6.
Mungkin rumah terlalu
lelah untuk selesai merapihkan isinya. Ada yang bergegas mencuci beras. Ada
yang berdiam diri menyulut api. Di rak, beberapa piring berdenting dan
mengucurkan air. “Kau hadir malam itu?”. “Tidak sempat. Aku banyak pekerjaan.”.
“Tanpamu, bagaimana kita bisa mengirimkan salam, sedangkan aku tunduk di dalam
rumah.”. “Ia, aku mengerti. Kita akan ucapkan lain kali. Saatnya kita harus
tidur. Sudah larut.” “Tetapi siang hari, bukan milikku, milik sepatu.”. Beras
yang telah berhasil ditanak seperti dilupakan memiliki hak. Langkah yang
bergegas menjadi lamban. Api mulai padam. Sumbu kompor bergerak, meninggalkan
permukaan. Di permukaan, air dalam panci tampak begitu tenang.
7.
“Mengapa kau tidak
pernah ingin pergi, dan kembali-kembali lagi?”.
8.
Aku tetap memilih
melangkah, meninggalkan sandal dan rumah. Di punggungku, kaca seperti lelah,
tergelincir dari daun jendela, dan pecah. Dan angin akan mulai menelisik,
memilih masuk lewat jendela yang telah pecah kacanya, bergerak sampai ke setiap
sudut.
“Setiap rumah yang
telah disapu, kami sebarkan kembali debu.”.
Lelaki itu tetap saja
melangkah.
“Setiap yang pernah
pergi tidak pernah pergi.”
Sandal:
9.
Aku mengerti. Kau
ingin sekali kembali. Beberapa waktu yang lalu, saat sebelum kau sayat-sayat
diriku. Saat sebelum lenganku kau buat putus. Tetapi semuanya telah kau
lakukan. Aku telah baka. Dan jika benar ini, bukan pikiran-pikiranmu saja.
Semuanya, sudahlah. Aku mengerti. Ini semua karena perkerjaan. Ini semua karena
kau telah ditolak.
10.
Di pesta dansa, kau
membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku
tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja
putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di
kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak ingin pulang.
11.
Kita pergi, cari
makanan di pinggir jalan. Kau menemukannya. Nasi goreng, ya, nasi goreng. Kau
memutuskan memesan, dan memilih minuman.
Kau elus-elus
jenggotmu. Menatap es teh yang baru saja datang di atas meja makan. Kau tatap,
sampai permukaannya mencapai tenang. Kau minum, kau teguk. Kemudian kau
elus-elus lagi jenggotmu. Menatap kembali es teh yang kau letakkan di atas meja
makan. Dan kini, kau senyum-senyum sendiri. Menyipitkan mata pribadi.
“Kau tidak ingin
memesan minum?”
“Tidak. Aku takut
gigiku kuning.”
“Kalau begitu air
mineral saja?”
“Tidak. Aku tidak
ingin membuka apa-apa.”
12.
“Tetapi tanpa membuka
kita tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Tetapi setelah kau
mendapatkannya, apa yang akan kau lakukan? Kau akan meminumnya. Habis. Habis.”
“Tetapi aku sempat
menatapnya.”
Nasi goreng
dihidangkan. Seorang pelayan menitiskan senyuman.
“Tetapi, karena
keinginan aku dan kau dilahirkan.”
Pembicaraan kami
terhenti, atau dihentikan, sunyi dalam kunyahan.
Aku:
13.
Diusiaku yang akan ke
23, di bulan Oktober, hujan hanya turun sekali. Ketika itu, kubiarkan ia basah
sepanjang jalan. Kubiarkan ia turut menekan, rem atau gigi. Mantelku tebal.
Dinding pandangku tebal. Hatiku takut lepas. Ketika itu, katamu, “di sekolah,
sepatu tidak boleh basah.”.
Sepatu:
14.
Tidakkah
kau memahamiku sebagai pengganjal – hubunganmu dengan sandal. Ketika itu,
ketika kita beranjak diperlukan. Ketika kita mulai berjalan pada kepentingan
masing-masing – aku yang menjadi penting karena keberadaan kau.
Tidakkah
kau memahamiku sebagai hal yang pantas di atas teras kelas – meski seberapa
buruk aku bagi kenyamanan kau – membaca, menghitung, bahkan menyadarkan guru
yang kelewat keliru, bahwa jam pelajarannya telah lama berlalu, bahwa bel
tidak lagi ia dengar sebagai pergantian.
Tidakkah
kau memahamiku hanya sebagai perjalanan, yang harus, yang harus kau lewatkan.
Aku tidak pernah mengajukan. Aku hanya menjadikan.
Dan
aku menderap, bagai langkah tank baja. Menghadapi gerbang sekolah yang hanya terbuka
sementara, kemudian menutup diri kita selamanya.
Dan
kau gelisah, sebab tidak pernah bisa pulang ke rumah.
Di papan tulis, kau
tidak juga bisa menulis angka delapan, sampai tangan gurumu menggapai tanganmu.
“Nak, angka delapan itu bukan dua lingkaran. Tetapi seperti ini. Seperti
perasaan.” kata gurumu yang kelewat sabar. “Tapi, bu, sama saja, sama saja.”
Katamu. “ Tapi nak,” kata gurumu, “ini sudah baku.” “Tapi, kan, perhitunganku
benar, bu. Ibu juga tahu maksudku, itu angka delapan. Apakah kebenaran tidak
lebih penting dibandingkan dengan kebakuan? Apakah kebenaran menjadi tidak
benar, bu, karena tulisanku tidak baku? Ini angka delapanku, bu. Ini, aku.”.
“Tapi ini angka delapan, ibu, nak. Ini ibu, nak. Kau percaya, kan, dengan ibu?
Percayalah, kau akan selamat di hadapan orang-orang baku itu.”
Di hadapan papan
tulis, membelakangi teman-temanmu, di kepercayaan gurumu, kau berhasil menulis.
Dan aku, saksi yang paling menangis. Kemudian kita melangkah, mendekati kursi, mendekati
meja, mendekati jendela, medekati kata-kata.
Aku:
15.
Di istirahat pertama,
setengah jam saat bel masuk akan tiba, aku memilih untuk tidak pergi ke kantin,
tetapi datang kembali, menemui pelepah pohon kelapa. Aku terus saja
berayun-ayun diketinggiannya. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Memanjat
tembok sekolah. Berayun-ayun. Dan melompat sampai ke tanah.
Sepatu:
16.
Hari itu, kita akan pulang sore
hari. Dan sandal, pasti akan marah besar. Kau mencoba untuk tampak tetap
tenang, sedangkan aku mencoba untuk tidak tetap bimbang. Kita mencoba untuk
tetap baik mendengar aba-aba. Tetap mencoba, untuk tidak salah melangkah. Kali
itu, mungkin rumah akan ada gelisah.
Sandal:
17.
Hari itu, kau pulang tidak seperti
biasanya. Aku mengira kau pergi berkencan. Kemana? Kau pergi ke pantai, ya?
Bagaimana? Menyenangkan, bukan? Mengapa kau masih ingat pulang? Hari itu, aku
hampir saja bergeser dari pintu.
Aku:
18.
Keliru. Tetapi aku, tidak bisa
mengatakan apa yang aku mau.
Sandal:
19.
Kemudian turun hujan. Di seberang
jalan, hampir berhadapan tempat kami makan, ada toko buku Gramedia. Kami
menyeberang, berteduh di tempat yang lebih terang.
“Mengapa masa depan gelap? Hujan
turun tanpa rencana.”
“Karena kita, tidak pernah
mengharapkannya.”
Aku:
20
Hari itu, aku ingin meninggalkan bising. Dan mendapati rumah, sudah aku rapihkan. Kita jalani hidup ini. Menyusuri halaman, teras, ruang tamu, dua kamar itu, dan dapur. Di dapur, kita temui tikus curut, meloncat karena takut.
"Dapur tampaknya habis perang." katamu.
"Tikusnya tidak hanya satu, tapi tiga, sembunyi di bawah lemari.".
Aku bungkam. Kau tampak kesal. Rumah tampaknya, tak dapat lagi dilindungi.
Sandal:
21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.
"Tadi, ngapain aja di sekolah?"
"Aku ada ujian mendadak."
"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."
"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."
Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.
20
Hari itu, aku ingin meninggalkan bising. Dan mendapati rumah, sudah aku rapihkan. Kita jalani hidup ini. Menyusuri halaman, teras, ruang tamu, dua kamar itu, dan dapur. Di dapur, kita temui tikus curut, meloncat karena takut.
"Dapur tampaknya habis perang." katamu.
"Tikusnya tidak hanya satu, tapi tiga, sembunyi di bawah lemari.".
Aku bungkam. Kau tampak kesal. Rumah tampaknya, tak dapat lagi dilindungi.
Sandal:
21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.
"Tadi, ngapain aja di sekolah?"
"Aku ada ujian mendadak."
"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."
"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."
Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar